Beberapa tahun terakhir aku suka sekali menjelajah tempat-tempat ziarah di Indonesia. Bukan sekadar checklist destinasi Instagramable, tapi lebih seperti menelusuri jejak yang menumpuk di tanah, bangunan, dan hati orang-orang lokal. Ada sesuatu yang membuatku selalu terhenti: aroma dupa yang samar, suara doa yang bergema, dan cerita-cerita kecil yang dilewatkan dari mulut ke mulut. Tulisan ini kayak curhat singkat tentang beberapa momen itu—semoga kamu ikut merasa hangat, atau malah jadi pengin packing dadakan.
Mengapa ziarah terasa seperti pulang?
Aku masih ingat pertama kali berdiri di halaman makam Sunan Kalijaga; pagi itu kabut tipis menempel di rerumputan dan suara ayam kampung seperti backing vocal. Ada rasa aneh—antara kagum, canggung, dan nyaman—yang bikin aku tersenyum sendiri. Orang-orang datang dengan tujuan berbeda: ada yang berdoa, ada yang sekadar lewat, ada ibu-ibu yang menata sesajen kecil sambil berceloteh seperti ngobrol dengan tetangga. Momen-momen kecil ini yang membuat ziarah bukan sekadar ritual, tapi cara komunitas menjaga kenangan dan identitas.
Di beberapa tempat, suasana sangat kontras: di Borobudur saat matahari terbit, angin dingin membawa aroma tanah basah dan dupa, semua orang hening, kamera pun seolah menahan napas. Sedangkan di Pura Besakih, gamelan mengalun, bunga-bunga warna-warni berhamburan, dan tawa anak-anak yang mengejar burung membuatnya terasa hidup seperti pesta keluarga besar. Dua pengalaman berbeda, tapi sama-sama mengajarkan tentang cara manusia merayakan hubungan mereka dengan yang lebih tinggi.
Jejak-Jejak sejarah yang tak kasat mata
Nusantara kaya jejak: Wali Songo yang namanya tak lekang di Jawa, sunan-sunan di pantai utara, pesantren yang menjadi pusat peradaban, sampai kehidupan spiritual di pesisir dan pegunungan. Sejarah religius di sini sering kali bukan sekadar teks—ia hidup melalui tradisi lisan, bangunan, dan praktik sehari-hari. Aku suka ngobrol sama tukang kopi di dekat situs-situs itu; dari mereka aku dapat sudut pandang yang tak tertulis di buku panduan.
Saat menyusuri lorong-lorong Keraton Yogyakarta, aku dibawa membayangkan bagaimana upacara-upacara lama mengikat rakyat dan penguasa dalam semacam harmoni simbolik. Di pesisir Cirebon, cerita tentang Sunan Gunung Jati berbenturan dengan mitos lokal yang membuat setiap sudut kota terasa penuh tanda tanya—kadang bikin merinding, kadang bikin ngakak karena detailnya lucu dan absurd.
Tokoh lokal: manusia, bukan legenda
Ada satu hal yang selalu membuatku tersentuh: bagaimana tokoh-tokoh spiritual lokal diperlakukan sebagai manusia biasa yang punya kelemahan, humor, dan kebijaksanaan sederhana. Kisah Nyai Roro Kidul mungkin dibalut mitos, tapi versi-versi lokalnya sering kali justru menyisipkan pelajaran moral yang hangat. Aku pernah duduk di warung kecil, minum teh manis sambil mendengar kiai muda bercerita tentang gurunya—orang biasa yang doanya sederhana namun tulus. Mendengar cerita itu membuat aku agak malu karena kadang doa aku berbelit-belit, sementara mereka bisa begitu sederhana.
Di perjalanan terakhir, aku juga sempat mampir ke sebuah makam sunan yang penjaganya bercerita bagaimana ia diwarisi tugas menjaga tempat itu oleh kakeknya. Ada foto keluarga, sandal di pojok, dan sebatang rokok yang masih setengah. Sederhana, manusiawi, dan nyata. Kadang aku ketawa kecil sendiri karena reaksi pertamaku waktu itu—salah tingkah karena ingin bersikap khidmat tapi juga terhibur oleh gelagat penjaga yang tiba-tiba menyodorkan kopi sachet.
Satu link kecil yang aku sempat buka waktu menulis catatan perjalanan: mmfatimaitalia. Bukan endorsement besar-besaran, cuma jejak digital yang kadang jadi petunjuk kecil buat cari tahu lebih jauh.
Apa yang kita bawa pulang dari ziarah ini?
Selain foto-foto dan kaki yang pegal, ziarah meninggalkan rasa: rasa hormat terhadap keragaman, dan rasa ingin menjaga warisan bersama. Kita belajar mendengarkan—bukan cuma ceramah di depan, tapi bisik-bisik sejarah yang hidup dalam senyum penjaga makam, peluh tukang sapu pura, atau obrolan santai di warung kopi. Ada juga tawa: aku sering pulang dengan cerita konyol, seperti lupa melepas sandal di depan tempat suci dan harus menebak-nebak mana sandalku karena semua warnanya mirip.
Akhirnya, ziarah nusantara mengajarkan satu hal sederhana: bahwa spiritualitas di Indonesia itu kaya dan ramah, penuh cerita manusiawi yang kadang menyentuh, kadang mengocok perut. Kalau kamu butuh alasan buat jalan-jalan lagi, coba deh pilih rute ziarah—bukan untuk menjadi suci, tapi untuk jadi sedikit lebih peka pada jejak-jejak sejarah yang bikin kita merasa terhubung.