Pernah suatu sore saya duduk di teras sebuah rumah pesantren di pesisir Jawa, mendengarkan cerita-cerita lama tentang wali, dukun, dan para peziarah yang tak pernah lelah menapaki jalan spiritual Nusantara. Angin membawa aroma dupa dan garam laut. Saya ingat betapa kecilnya saya merasa, sekaligus betapa besar rasa ingin tahu itu tumbuh—bukan sekadar ingin tahu dari mana asal ritual, tetapi juga ingin memahami bagaimana sejarah, kepercayaan, dan manusia saling merajut di tanah ini.
Mengapa wisata religi selalu punya magnet tersendiri?
Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan peta—sensasi yang membuat kita ingin datang lagi dan lagi ke makam, pura, vihara, atau langgar tua. Ketika saya mengunjungi kompleks makam Sunan Ampel di Surabaya, misalnya, saya tak hanya menyaksikan orang berdoa; saya menyaksikan kehidupan yang berputar di sekitar keyakinan itu: pedagang kecil yang tetap menjajakan makanan khas, anak-anak yang bermain di halaman, orang-orang yang berkisah tentang mukjizat. Wisata religi menjadi seperti jembatan antara masa lalu dan masa kini. Kita datang sebagai turis, pulang sebagai saksi kecil dari tradisi yang hidup.
Cerita-cerita Wali yang tak pernah usang
Wali Songo adalah nama yang sering muncul ketika cerita-cerita spiritual Jawa diungkapkan. Saya pernah duduk di bawah pohon trembesi dekat Demak mendengar tetua kampung bercerita tentang Sunan Kalijaga yang konon mengubah tembang menjadi dakwah. Ada juga kisah Sunan Bonang dengan makna di balik gamelan. Kisah-kisah ini kadang lebih bersifat legenda daripada sejarah yang rapi, tapi justru di situlah kekuatannya: mereka mengajarkan cara beradaptasi, cara menerjemahkan ajaran baru ke dalam kultur lokal. Di setiap makam wali selalu ada jejak-upacara, tahlilan, gunungan, yang menunjukkan bagaimana Islam di Nusantara dibentuk lewat perjumpaan, bukan paksaan.
Siapa dukun menurut saya—ancaman atau penjaga leluhur?
Saya tumbuh dalam keluarga yang menghormati dukun sebagai penjaga pengetahuan turun-temurun. Di banyak desa, dukun bukan hanya penyembuh; dia juga konsultan, penengah konflik, pemegang pengetahuan tentang tanaman obat, dan penafsir mimpi. Pernah suatu malam saya menemani seorang dukun di sebuah rumah adat, menyaksikan ritual penyembuhan yang campur tangan doa, mantra, dan ramuan. Saya melihat ketidakberdayaan bertemu harapan, dan rasa takut bertemu kelegaan. Dukun kadang dianggap kontroversial di kota, tetapi perannya di banyak komunitas tak bisa dianggap remeh. Mereka adalah bagian dari ekosistem spiritual yang membuat masyarakat bertahan menghadapi penyakit, kelaparan, dan kehilangan.
Apa arti menjadi peziarah di Nusantara?
Peziarah datang dengan berbagai motif: menunaikan janji, mencari kesembuhan, atau sekadar merasa perlu berhenti sejenak. Di Magelang, para peziarah yang mengunjungi Candi Borobudur sering membawa niat yang bersifat personal—ada yang datang untuk mendoakan orang tua, ada yang mencari inspirasi hidup. Ritual memutari stupa sambil membaca niat membuat saya teringat bahwa keheningan itu menyembuhkan. Di tempat lain, peziarah mengunjungi makam wali atau tempat keramat kecil di pinggir jalan. Mereka menyalakan lilin, membagi nasi, menyisir warisan doa yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun.
Bicara tentang jejak spiritual Nusantara tidak lengkap tanpa menyebut pluralitas: Hindu-Buddha, Islam, Kristen, animisme, dan berbagai aliran lokal hidup berdampingan. Kadang terjadi ketegangan, tentu, tetapi saya lebih sering menyaksikan sinergi—ritual baru lahir dari pertemuan, tapak tilas tradisi lama yang tetap dihormati.
Sebagai pengunjung, saya belajar satu hal penting: datanglah dengan rasa hormat dan keingintahuan, bukan sekadar kecepatan dan foto. Banyak situs religi punya aturan tak tertulis—bahkan orang yang tampak paling ramah akan menyentuh sesuatu dengan penuh penghormatan. Jika Anda ingin membaca perspektif lain tentang perjalanan religius, saya pernah menemukan tulisan menarik di mmfatimaitalia yang menyorot dimensi spiritual perjalanan lintas budaya.
Di akhir perjalanan, saya selalu pulang dengan kantong penuh cerita: kisah wali yang merobek batas budaya, dukun yang menjaga tradisi kesehatan, peziarah yang menumpahkan harapannya. Jejak spiritual Nusantara bukan hanya warisan situs—itu adalah pengalaman yang mengikat manusia ke akar, menenun setiap langkah menjadi doa, dan mengingatkan kita bahwa di bawah segala perbedaan, ada kerinduan yang sama: mencari makna, penghiburan, dan komunitas.